Sejak disahkan September 2014, Undang-Undang Jaminan Produk
Halal masih mendapat tentangan dari sejumlah pihak. Salah satu di antaranya datang dari perusahaan
obat-obatan.
Seperti dikutip dari laman Halalfocus.net, Parulian Simanjuntak, Direktur Eksekutif dari
Pharmaceutical Manufacturers International Group, menyatakan bahwa pemerintah
harus mengubah undang-undang tersebut agar mengecualikan produk farmasi dari
kewajiban sertifikasi halal.
“Kami mendukung semangat hukum, dalam hal ini bermaksud
untuk melindungi konsumen, tapi itu akan sulit untuk dilaksanakan,” kata
Parulian yang memimpin Grup Industri Farmasi Internasional-terdiri dari
perusahaan obat-obatan terbesar seperti Bayer, GlaxoSmithKline, Merck dan
Pfizer-
Lebih lanjut, Parulian mengatakan meskipun hukum memberikan
masa transisi lima tahun untuk menegakkan aturan dalam undang-undang tersebut,
proses sertifikasi suatu produk apakah halal atau tidak akan sangat kompleks,
mengingat pasokan dan produksinya memiliki mata rantai yang luas di belakang
produk.
“Akan sulit untuk menerapkan aturan itu dalam industri
farmasi karena zat yang digunakan berasal dari berbagai negara,” katanya. “Itu
akan membuat sulit bagi pemerintah untuk mengaudit produsen status halal produk
mereka. Mereka harus mengunjungi negara-negara satu per satu.”
Parulian bahkan menyatakan jika pemerintah bersikeras
menegakkan aturan tersebut maka perusahaan-perusahaan farmasi tidak akan menghasilkan
obat-obatan di Indonesia lagi karena mereka akan menghadapi sanksi sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
Ia memperingatkan, “Selanjutnya, ketersediaan obat-obatan
untuk masyarakat di Indonesia akan terpengaruh.”
0 comments:
Post a Comment